Rilis Berita

Gereja Menggelar Seminar Geologi Siap Siaga Bencana Gempa dan Tsunami

Masih dalam rangkaian memperingati 50 tahun Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir di Indonesia, Gereja kembali menggandeng mitra lamanya, yakni Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) dalam mengadakan serangkaian Seminar Geologi Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami.

                        

Kegiatan ini dilaksanakan di tiga kota di Indonesia. Seminar pertama diadakan pada 25 November 2019 di Kota Malang, Jawa Timur dengan tema “Meningkatkan Ketangguhan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana dan Tsunami melalui Edukasi dan Penyadartahuan”.

Bekerja sama dengan Universitas Islam Malang (UNISMA), seminar geologi di Kota Malang ini menghadirkan sejumlah narasumber, termasuk Prof. Dr. Ronald A. Harris dari Brigham Young University Utah, Bapak Musripan selaku Kepala Stasiun Geofisika Malang, dan Ir. Bernandus Wisnu Widjaya, M.Sc. selaku Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Kabupaten Malang.

         

Rektor UNISMA Prof. Dr. H. Maskuri Bakri M.Si., memaparkan bahwa negara kita terletak di kawasan garis khatulistiwa yang rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Ia berharap dengan diadakannya seminar ini, peserta seminar dan mahasiswa dapat termotivasi mengemban tugas untuk menjaga lingkungan dan mengurangi risiko bencana.

Dr. Daryono, S.Si, M.Si dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berbagi sejumlah paradigma baru dalam memandang bencana. “Pertama, memahami risiko bencana, kemudian kedua adalah tata kelola risiko. Ketiga adalah berinvestasi dengan memperkuat struktur bangunan, dan terakhir adalah meningkatkan kesiapsiagaan dengan latihan simulasi serta evakuasi bencana”, jelasnya. “Dengan simulasi latihan evakuasi bencana, maka akan menguatkan insting untuk menyelamatkan diri,” ia menyimpulkan.

               

Selanjutnya, seminar geologi ini pun digelar di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada 27 November 2019.

Terakhir, seminar geologi ketiga digelar di Jakarta pada 29 November 2019. Berlangsung di Auditorium Gedung PBNU di Kramat Raya No. 164, Jakarta Pusat, seminar kali ini bertemakan “Indonesia Rawan Gempa Bumi dan Tsunami: Apa yang Harus Dilakukan?”

          

Para pakar geologi berbagi ilmu mereka di seminar ini. Salah satunya adalah Profesor Ron. Ia menekankan, “Kunci untuk meminimalkan korban adalah dengan memberikan edukasi. Ini menjadi tanggung jawab tiap invididu dan secara kolektif. Edukasi dapat dilakukan di keluarga, sekolah, pramuka, dan sebagainya.” Ia melanjutkan, “Kita tidak boleh melupakan sejarah, karena tempat di mana pernah terjadi bencana, di tempat yang sama suatu masa kelak akan terjadi lagi.”

Selanjutnya, Ir. B. Wisnu Widjaja, M. Sc. dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan bahwa “Kesombongan manusia selalu menyalahkan alam dengan membuat istilah ‘bencana alam’, padahal bumi itu memang selalu bergerak, itu adalah kodratnya.” Ia menekankan bahwa “Kita tidak boleh takut atau trauma, melainkan harus mencari solusi, bagaimana caranya meminimalkan korban bencana. Kita harus terlebih dulu memahami bencananya, kemudian memperkuat tata kelola risikonya.”

 

Senada dengan para pembicara sebelumnya, Dr. Daryono berpendapat, “Untuk menekan jatuhnya jumlah korban yang signifikan, maka harus dicari solusinya, di antaranya dengan membangun rumah yang tahan gempa, memberikan peringatan dini seperti sirene tsunami dan sebagainya.” Ia menekankan bahwa “Manusia harus mengubah perilakunya untuk hidup selaras dengan alam dan tidak merusak alam.”

Pembicara keempat, Dr. Eko Yulianto dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berbagi, “Kearifan lokal dapat menolong mengatasi akibat gempa.” Ia menjelaskan lebih lanjut, “Melalui kearifan lokal, nenek moyang kita mencatat cara untuk mengatasi bencana, salah satunya dengan membangun rumah yang tahan gempa, yaitu rumah panggung.” Ia membandingkan dengan rumah dan bangunan yang sekarang dibuat dari batu bata dengan kualitas yang tidak tahan gempa. “Sering kali bukan gempanya yang menyebabkan jatuhnya banyak korban, melainkan akibat kejatuhan rumah-rumah yang roboh,” paparnya. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan mengampanyekan tempat evakuasi mandiri. “Ini merupakan suatu tempat di dalam rumah yang aman untuk berkumpulnya keluarga ketika terjadi bencana, misalnya di kamar mandi, karena ruang ini minim perabot,” pungkasnya.

          

Dr. N. Rahma Hanifa dari U-Inspire turut berbicara di seminar ini. “Saya mengapresiasi generasi muda yang mulai menyelidiki terjadinya bencana alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, dengan menggunakan iptek, peneliti menyelidiki pasca gempa di Palu. Teknologi drone juga dinilai sangat bermanfaat.”

Selaku moderator, Bapak J. Victor Rembeth dari Save the Children menutup seminar dengan mengajak peserta untuk belajar bersama dan menyadari bahwa bencana disebabkan oleh perilaku manusia. “Oleh karena itu, kita harus mengubah sikap agar kita siap menanggulangi bencana,” imbaunya.

Catatan Panduan Gaya:Ketika melaporkan tentang Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir, mohon gunakan nama lengkap Gereja dalam rujukan pertama. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penggunaan nama Gereja, pergi ke panduan gaya daring kami.Panduan Gaya.